Latar Belakang
Muhammadiyah adalah suatu organisasi islam yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1912 tepatnya di Jogjakarta. Organisasi ini didirikan pertama kali dengan tujuan “memajukan pendidikan dan ilmu pengetahuan di hindia belanda berdasarkan ajaran islam dan meningkatkan kehidupan beragama diantara para anggotanya” (M. Rusli Karim : Kompas : 13)
Organisasi yang telah berumur 1 abad ini berkembang pesat sesuai dengan perkembangan jaman. Muhammadiyah dikatakan sebagai organisasi islam terbesar di Indonesia yang berpredikat modernis. Dalam gerakannya, organisasi ini berkontribusi di berbagai bidang kehidupan, baik agama, sosial-politik, pendidikan, ekonomi dan budaya. Banyak amal usaha yang didirikan untuk kesejahteraan masyarakat, seperti sekolah untuk pendidikan, rumah sakit untuk kesehatan, panti asuhan, perguruan tinggi dan lain-lain, telah jelas bahwa muhammadiyah bergerak untuk kesejahteraan masyarakat.
Tidak hanya di bidang itu saja, walaupun dengan tegas muhammadiyah menyatakan bertujuan untuk memelihara, memajukan agama juga kesejahteraan masyarakat islam, dalam praktek dan kenyataannya, Muhammadiyah tidak pernah bebas dan membebaskan organisasinya dari masalah politik. Dari orde lama hingga orde reformasi, Muhammadiyah pun melahirkan banyak tokoh-tokoh yang berpengaruh terhadap kondisi perpolitikan di Indonesia, dan secara tidak langsung organisasi ini mengikuti dinamika dalam perpolitikan nasional.
Banyak kalangan yang berpendapat mengenai hubungan muhammadiyah dengan dunia politik, pro-kontra mengenai hal ini terus bergulir, ada beberapa kalangan berpendapat bahwa hubungan Muhammadiyah dengan politik sangatlah erat, anggapan tersebut makin berkembang hingga menyimpulkan Muhammadiyah tidak bisa lepas dari politik praktis atau Muhammadiyah harus mempunyai partai politik sendiri yang resmi.
Berbagai macam persepsi dilontarkan dari masyarakat, akan tetapi yang lebih mengetahui bagaimana posisi dan corak politak Muhammadiyah dalam kancah perpolitikan nasional adalah organisasi tersebut. Sejak dilahirkan Muhammadiyah telah mengerti politik, tetapi Muhammadiyah telah berkomitmen tidak akan melakukan politik praktis. Arah utama Muhammadiyah adalah dakwah, dakwah artinya membangun peradaban dan dakwah lebih besar dari politik. (M. Sobary:Kompas:76)
Akan tetapi sejalan dengan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh Negara Indonesia, mendorong Muhammadiyah untuk peka dan peduli dengan realitas permasalahan yang dihadapi Negara ini, sehingga hal tersebut mendorong Muhammadiyah untuk memiliki kemandirian politik.
Corak, Perkembangan, Serta Implikasi Politik Muhammadiyah
Telah dijelaskan dalam latar belakang bahwa Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang modernis, Muhammadiyah sejak awal berdirinya telah mendeklarasikan sebagai gerakan pembaharu (gerakan tajdid). Terobosan-terobosan yang dilakukan Muhammadiyah yang cukup Kontroversial pada jamannya, menempatkan Muhammadiyah dalam garda depan gerakan modern lainnya, seperti Budi Utomo dan Syarikat Islam. Dalam konteks sejarah reformasi yang pertama dilakukan, Muhammadiyah menggeser tradisi-tradisi tradisional yang kontra produktif terhadap kemajuan umat dan bangsa, tradisi ini diganti dengan tradisi yang lebih modern. Karena alam pikiran tradisionalis telah membelenggu kreatifitas dengan dogma-dogma yang irrasional dan anti kemajuan sebagai sasaran pokok dengan berlandaskan pada pemikiran-pemikiran rasional. (Amien Rais, dkk : 1999 : xvii).
Bapak Din Syamsudin mengatakan Muhammadiyah adalah gerakan sosial-keagamaan yang memiliki serba wajah (dzu wujuh), baik pada sifat gerakan, dataran kegiatan, maupun tataran aktualisasi dari pada aspek kehidupan masyarakat. Muhammadiyah sendiri mengukuhkan tridimensi gerakannya, yaitu keislaman, dakwah, dan pembaharuan (tajdid), tetapi juga melaksanakan kegiatan dalam hampir semua aspek kebudayaan, seperti sosial, pendidikan, kesehatan, ekonomi, tabligh, dan politik. Pada aspek tertentu kegiatan tersebut dilangsungkan pada tataran berbeda, seperti dalam bidang politik walaupun hanya bersifat teoritis diselenggaran dalam tingkat adiluhung atau high politics.
Corak Politik Muhammadiyah
Semua pihak mengetahui bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik dan tidak pernah menjadi organisasi politik. Walaupun dalam Doktrin Muhammadiyah menyebutkan bahwa “Muhammadiyah menghindari kegiatan politik praktis” (Dr. Amien Rais : 1998: 48) dimensi politik dari gerakan Muhammadiyah tidak dapat diabaikan. (Sudarnoto A H:kompas:83). Dalam tubuh Muhammadiyah telah berkembang corak pemikiran yang cerdas tentang posisi politik Muhammadiyah. Pikiran tersebut intinya menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak mengabaikan politik, tetapi tidak berarti bahwa Muhammadiyah tidak mempunyai respon terhadap kondisi sosial pada masanya. Pikiran ini pernah muncul dan diterapan pada periode awal Muhammadiyah, dan dikemukakan kembali oleh Amien Rais (Ketua PP Muhammadiyah) waktu itu, pada sekitar tahun 1997, dengan istilah baru: high politics atau politik adi luhung (tingka tinggi).
Politik adiluhung adalah politik dimana Muhammadiyah tidak hanya peduli dengan keagamaan tetapi juga peduli dengan realitas sosial yang terjadi. Muhammadiyah harus sensitif dan perlu merespon berbagai isu-isu seperti: KKN, kepemimpinan nasional, kemiskinan, ketidakadilan global, konflik dan berbagai macam fenomena sosial di Indonesia. Sehingga Muhammadiyah dalam konteks ini perlu memiliki kemandirian politik. Artinya organisasi Muhammadiyah lahir adalah demi kepentingan umat, dan bukan pengabdian kepada para pemimpinnya. Atau para elit Muhammadiyah harus tampil dalam pengabdian masyarakat tanpa beban politik dan interest pribadi. Muhammadiyah secara konstitusi internal organisasi mengedepankan prinsip politik untuk dakwah bukan dakwah untuk politik, hal ini jelas tergambar dalam matan keperibadian Muhammadiyah, disamping sebagai gerakan Islam dan gerakan Tajdid, Muhammadiyah menekankan diri sebagai gerakan dakwah. Segala kegiatan dalam bidang pendidikan, social, termasuk politik diselenggarakan untuk kepentingan dakwah.
Muhammadiyah memiliki slogan yang menarik “hidup hidupilah Muhammadiyah, dan jangan mencari kehidupan di Muhammadiyah” ungkapan KH.Ahmad dahlan ini memiliki arti yang sangat mendalam sesungguhnya bila dikaitkan dengan isu kontemporer prinsip high politic yaitu politik tingkat tinggi atau politik Adiluhung yang dicetuskan oleh Amien Rais sangat layak untuk menangkal permasalahan-permasalahan intress politic dikalangan petinggi Muhammadiyah saat ini.
Perkembangan dan Implikasi Politik Muhammadiyah
Untuk melihat perkembangan dan implikasi politik Muhammadiyah, kita harus mengidentifikasi fenomena kemunculan Muhammadiyah hingga fase perkembangannya hingga saat ini. Ada empat fase perkembangan Muhammadiyah, empat fase perkembangan Muhammadiyah yaitu :
1. Fase Identifikasi Diri
Pada fase ini Muhammadiyah menampilkan dirinya sebagai gerakan Islam Modern yang berbasis perkotaan dan menjanjikan perubahan. Dalam fase ini Muhammadiyah secara bertahap telah berhasil memperoleh dukungan yang cukup luas.
2. Fase Ideologi Politik
Pada fase ini basis massa yang terbangun atas dasar Islam ini merupakan legitimasi terhadap kelibatan elite Muhammadiyah secara praktis dalam politik sekaligus merumuskan Islam sebagai Ideologi politik. Catatan sejarah mengungkapkan bahwa tuntutan kelompok ini ialah tegaknya satu bentuk masyarakat sosial-ekonomi dan politik Indonesia modern yang didasarkan kepada ajaran Islam, contohnya keterlibatan Muhammadiyah atau sejumlah tokoh-tokohnya mendirikan PII, MIAI, Partai Masyumi dan Parmusi.
3. Fase Depolitisasi dan Deideologisasi
Tumbangnya komunis dan tegaknya orde baru sebenarnya memberikan harapan termasuk bagi Muhammadiyah untuk melanjutkan perjuangan politiknya. Akan tetapi peluang harus mengikuti logika restrukturisasi politik orde baru dalam rangka stabilitas dan pembangunan nasional. Yang berarti bahwa Muhammadiyah pada akhirnya harus menerima kenyataan bahwa ideologi politik Islam sebagaimana yang selama ini diperjuangkan harus segera dikubur. Karena dalam penyesuaian politik orde baru, pragmatism politik harus menjadi satu-satunya pilihan sikap yang harus diambil oleh Muhammadiyah.
4. Fase Repotilisasi
Era depolitisasi dan deideologisasi Muhammadiyah ini semakin memperoleh bentuknya, tentu sejak penerapan Pancasila sebagai satu-satunya Azas. Di masa ini kebangkitan kultural islam mulai Nampak dan hal ini pula yang mempersubur semangat repolitisasi di lingkungan warga Muhammadiyah ini dibuktikan dengan dijumpainya banyak aktifis orsospol yang merupakan tokoh Muhammadiyah atau partisipan, dan hal ini pula yang menyebabkan faktor mobilisasi warga Muhammadiyah untuk melakukan “ittiba politik” kepada para pembesar.
(Sudarnoto A.H : Kompas : 83-87)
Peran Muhammadiyah dalam Perpolitikan Nasional.
Menurut HAMKA (1908-1981) ada tiga faktor yang mendorong lahirnya gerakan ini, yang pertama adalah keterbelakangan dan kebodohan ummat islam Indonesia dalam hampir semua bidang kehidupan. Kedua, suasana kemiskinan yang parah yang diderita ummat dalam suatu negeri kaya seperti Indonesia. Ketiga, kondisi pendidikan islam yang sudah sangat kuno, seperti yang terlihat pada pesantren.
Pada saat ini kita sadari bahwa betapa compang-campingnya sistem sosial kehidupan bangsa ini, kerusuhan terjadi dimana-mana, ketidakstabilan politik dan ekonomi dan pemerintahan, para tokoh, institusi dari berbagai bidang dan pemerintah semakin kehilangan legitimasinya sehingga tidak memilliki kewibawaan untuk dapat ikut menyelesaikan permasalahan, masalah korupsi dan yang lainnya membuat tatanan hidup bangsa semakin berantakan, hal ini pula yang mendorong muhammadiyah untuk tidak dapat terlalu menjauh dengan dunia politik, akan tetapi para fungsionaris perserikatan ini sering melontarkan statement mengenai perlu dilakukannya usaha-usaha yang tegas untuk dapat menjaga jarak dengan permainan politik praktis.
Kipah Muhammadiyah dalam perpolitikan zaman Orde Lama
Kiprah politik muhammadiyah pada zaman orde lama sangatlah menarik, mengingat organisasi islam ini senantiasa terlibat dalam konteks politik Indonesia dari mulai merumuskan bentuk Negara dan dasar Negara di masa awal kemerdekaan Indonesia, menjelang awal kemerdekaan ada dua kelompok kekuatan yang saling bersaing untuk menentukan bentuk Negara. Dan akhirnya dibentuklah panitia Sembilan yang merumuskan piagam Jakarta yang dimana salah satu isi dari piagam tersebut menyebutkan bahwa “ ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi para pemeluknya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Pernyataan tersebut akhirnya mengundang perdebatan dan dihapus dari Piagam Jakarta karena dianggap mengandung diskriminasi terhadap kelompok non-muslim, hal tersebut akhirnya membuat kelompok islam merasakan benar kkebutuhan akan sebuah wadah dalam percaturan perpolitikan nasional. Dengan alasan ini para tokoh islam pada tanggal 8 November 1945 dalam kongres umat islam di Jogjakarta mendirikan Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Di dalam partai tersebut, Muhammadiah berperan aktif, ini dibuktikan dengan di awal berdirinya, Masyumi dipimpin oleh Dr Sukiman Wirjosandjojo dari Muhammadiyah, kepengurusan dalam Pimpinan Masyumi lebih banyak didominasi oleh utusan Muhammadiyah yang mencapai lebih dari 50%. Setelah NU memutuskan untuk keluar dari Partai Masyumi akibat tidak setujunya NU terhadap kepemimpinan Natsir yang reformis, akhirnya membuat kepengurusan Masyumi lebih didominasi oleh orang-orang Muhammadiyah.
Di pertengahan tahun 1960, Presiden Soekarno mengumumkan bahwa kabinet gotong royong yang merupakan koalisi dari 4 partai utama, dan dengan tegas sebagai perdana menteri, Masyumi dengan sengit menentang aksi Sukarno ini karena Masyumi tidak bisa bekerja sama dengan PKI. Tidak lama setelah itu angota-anggota Masyumi anti komunis mengadakan pemberontakan di Sumatra dan Sulawesi menentang Pemerintah pusat, dan inilah yang menyebabkan Presiden Soekarno di tahun 1960 membubarkan Masyumi.
Kiprah Muhammadiyah dalam Perpolitikan jaman Orde Baru
Perpolitikan dalam Muhammadiyah saat Orde Baru kembali diguncang, Dengan dibubarkannya Masyumi kelompok Islam kembali tidak memiliki wadah yang mewakili kelompoknya dalam pemerintahan, sejak itu kelompok Islam termasuk Muhammadiyah kembali membuat sebuah Partai pengganti Masyumi dan diberi nama dengan Parmusi. Parmusi sendiri terbentuk oleh SK Presiden, akan tetapi Pemerintah mengajukan syarat pembentukan Partai tersebut yaitu tidak adanya eks Masyumi yang masuk ke dalam anggota Parmusi. Orde Baru juga memberlakukan kontrol yang ketat terhadap kegiatan maupun pembentukan struktur kepemimpinan Partai ini. Dalam catatan lain, yaitu pemilu 1977 Parmusi hanya mendapatkan 5,36% suara, hal ini berbanding terbalik dengan apa yang dicapai oleh Masyumi dalam pemilu 1955 yang mendapatkan 20,9% suara. Ada beberapa sebab yang melatarbelakanginya kekalahan Parmusi, yaitu terbentuknya Parmusi berdasarkan SK Presiden dan kontrol ketat yang dijalankan oleh Presiden kepada Parmusi, serta kekecewaan kaum modernis terhadap kinerja Parmusi. Kegagalan ini yang membuat kecewa seluruh lapisan umat Islam termasuk Muhammadiyah, karena Parmusi yang diharap menjadi pengganti Masyumi malah kehilangan kewibawaan akibat kontrol yang ketat dari pemerintah. Sebab itu banyak pendukung Parmusi yang mengalihkan keterlibatannya dengan terlibat aktif kedalam lembaga dakwah, LSM, dan pergerakan Non-Politik lainnya.
Semenjak terjadinya kudeta Naro 1970, kepemimpinan Parmusi tidak mengundang simpati umat, hal ini semakin membuat menjauhnya umat muslim dan Muhammadiyah untuk mendukung Parmusi. Menurut Wertheim, kekalahan Parmusi disebabkan banyaknya kantong-kantong pendukung Masyumi yang berada di Jawa Barat beralih dukungannya kepada Golkar. Kemenangan Golkar dalam merebut dukungan umat muslim adalah dengan mengangkat isu tentang modernisasi dan pembangunan ekonomi. Sementara daerah Jawa Timur yang basis besarnya adalah NU, malah sedikit yang mendukung Parmusi. Masyarakat NU lebih banyak memilih Golkar. Golkar sendiri mendapat dukungan pada basis ini berasal dari eks pendukung PNI dan PKI.
Kiprah Muhammadiyah dalam Perpolitikan Jaman Orde Reformasi
Setelah berakhirnya Era Orde Baru dengan kejatuhannya Soeharto, dan berganti dengan Era Orde Reformasi yang dimana “Era Kebebasan” termasuk didalamnya kebebasan berpolitik. Kebebasan ini ditandai dengan munculnya berbagai macam partai-partai, padahal baru enam bulan Soeharto jatuh. Menjamurnya partai yang beraliran Naisonalis hingga Agama, membuat Muhammadiyah menjadi terbelah dua. Kalangan Muhammadiyah terbagi dua dikarenakan adanya pemikiran K.H Ahmad Dahlan yang menghendaki Muhammadiyah tetap konsisten dalam gerakan dakwah, sosial, dan tajdid. Pemikiran ini tetap konsisten dengan menjalankan Muhammadiyah sebagai gerakan sosial dan melepaskan dari masalah-masalah politik. Pemikiran kedua adalah sudah saatnya Muhammadiyah berpartisipasi aktif dan peduli terhadap persoalan-persoalan politik dalam rangka membina kehidupan berbangsa dan bernegara. Muhammadiyah dituntut untuk terlibat aktif dan mendorong reformasi dengan tetap berpegang teguh dengan “amar ma’ruf nahi munkar”.
Dari dua pemikiran tersebut memberikan dilema yang berat bagi Muhammadiyah, di satu sisi derasnya gelombang reformasi membuat Muhammadiyah harus menunjukkan sikap yang jelas terhadap perkembangan situasi politik di Indonesia, di lain sisi Muhammadiyah juga terikat pada doktrin sejak berdirinya organisasi ini untuk tidak berpolitik praktis. Saat bersamaan Pemuda Muhammadiyah menginginkan Dr. Amien Rais untuk terjun langsung dalam politik praktis. Sidang Tanwir Muhammadiyah tanggal 5-7 Juli 1998 membuahkan satu rekomendasi kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk melakukan itjihad politik. Bagi kalangan lain rekomendasi ini ditafsirkan sebagai mendirikan partai politik, sebagaimana yang disampaikan oleh Amien Rais. Menurut Ahmad Syafi’I Ma’arif, partai yang akan diusulkan oleh Amien Rais nantinya bersifat terbuka, berwawasan cinta terhadap tanah air dengan tujuan untuk memajukan proses reformasi. Dengan kata lain tidak adanya hubungan antara partai yang didirikan dengan Muhammadiyah baik secara organisator, kelembagaan hingga Muhammadiyah bukan pendiri partai tersebut.
Pada tanggal 23 Agustus 1998 bertempat di Jakarta, Amien Rais dengan teman-temannya mendeklarasikan berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN). Langkah Amien Rais itu sendiri untuk mengakomodir keinginan dan kepentingan warga Muhammadiyah yang sejak lama berada dalam kungkungan Orde Baru. Berdirinya PAN yang bersifat terbuka dan majemuk serta tidak membatasi dukungan dari kalangan Muhammadiyah saja. Setidaknya ini adalah satu langkah yang positif bagi kalangan Muslim untuk terbuka terhadap kalangan Non-Muslim, dan langkah ini juga memberikan kesan positif dari pihak Non-Muslim yang merasa PAN adalah partai Muhammadiyah. Meskipun secara Nasional perolehan suara PAN berada di posisi 5 besar, namun Amien Rais (Ketua Umum PAN) berhasil menggalang kekuatan partai-partai yang lain (PKB, PPP, Bulan Bintang, serta PK) dalam wada “poros tengah” yang menghantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Republik Indonesia mengalahkan Megawati Soekaroputri.
0 Comments:
Post a Comment